KEBEBASAN si Ro`i
DULU, saat masih belajar di sebuah pesantren di Mranggen, Demak, kami para santri mengenal sosok makhluk berbentuk manusia yang berbeda dengan manusia pada umumnya. Namanya Ro`i.
Hampir seluruh santri, putra maupun putri, sangat hafal nama dan perilakunya. Masyarakat Mranggen pun kenal baik dengan si Ro`i ini. Terkadang kami melihat si Ro`i begitu bebasnya tertidur pulas dengan telanjang bulat di trotoar Pasar Mranggen. Lain waktu kami melihat si Ro`i makan sisa-sisa makanan di tempat sampah. Ada kalanya dia ngoceh tidak karuan.
Dia begitu bebas mengatakan apa saja, memaki-maki siapa saja, dengan bahasa apa saja. Kadang kadang kami menemukannya menari-nari seenak perutnya, tentu saja sambil telanjang bulat, tak peduli meskipun saat itu ada Bu Nyai lewat bersama santri-santri putri. Pernah si Ro`i itu bikin geger karena memamer-mamerkan, ”pusaka” pribadinya pada santriwati yang lewat, dan menguber para santriwati itu. Kontan saja para santriwati itu berlarian sambil menjerit- jerit. Namun, para kiai dan masyarakat tidak ada yang marah atau tersinggung dengan segala kebebasan tingkah laku yang diekspresikan dan dipertunjukkan si Ro`i. Sebab, semua orang tahu siapa itu si Ro`i. Menyinggung si Ro`i, Pak Kiai pernah mengatakan, ”Orang yang hilang akalnya seperti si Ro`i tidak masuk dalam taklif.
Dia terbebaskan dari hukum syariat. Tidak ada label dosa atau pahala untuk orang gila seperti Ro`i. Dia itu, WUJUDUHU KA `ADAMIHI. Ada dan tidak adanya sama saja.” Di pesantren kami ada banyak peraturan. Misalnya kalau kami mau talaqqi, mengaji Alquran, harus memakai pakaian yang terbaik. Tidak boleh pakai kaus. Selesai salat, kami tidak boleh langsung srantal bubar, harus zikir dulu. Kami tidak boleh keluar pesantren seenaknya tanpa izin, dan sebagainya. Suatu ketika, ada seorang santri yang menggugat peraturan-peraturan itu kepada pengurus pesantren. Bahkan, dia menggugat kenapa harus ada hafalan Alfiyah segala.
”Mbok kami dibebaskan saja sebebas- bebasnya, sedemokratis mungkin. Kalau banyak peraturan itu tidak demokratis. Kenapa sih harus salat subuh berjamaah? Kenapa Pak Kiai harus membangunkan satu per satu santrinya. Biar santri sadar sendiri saja. Kenapa santri putri diwajibkan pakai jilbab? Tidak usahlah diwajibkan, itu membelenggu namanya. Biar sadar sendiri saja. Tidak usah diberi peraturan, dan tidak usah ditekan-tekan dengan hukuman segala?”
Protes santri itu disampaikan kepada Pak Kiai. Dengan enteng, Pak Kiai menjawab, ”Kalau kalian hilang akalnya seperti si Ro`i, maka kalian dengan sendirinya bebas sebebas-bebasnya. Tak ada syariat, hukum, peraturan, dan norma yang mengikat orang gila, orang yang hilang akalnya. Jadilah orang gila seperti si Ro`i itu, maka kau bebas sebebas-bebasnya.
Apa yang disampaikan Pak Kiai itu sesungguhnya dalam maknanya. Bisa jadi perenungan kita bersama tentang hakikat kebebasan. Beberapa waktu yang lalu, saya melihat sebuah adegan yang menarik di layar kaca, ketika seorang penyanyi ditanya,mengapa dia mengumbar auratnya. Dengan wajah yang sangat tenang, artis itu menjawab, ”Lho apa salahnya, bukankah ini bagian dari kebebasan berekspresi.” Di kesempatan yang lain, saya mendengar bahwa ada beberapa kalangan yang meminta pembubaran Lembaga Sensor Film lantaran dianggap memasung kebebasan berkarya dan menghambat kreativitas berkesenian.
Ya, manusia mendamba kebebasan tentu bukanlah hal yang baru. Jauh dalam lubuk manusia, selalu saja terpendam keinginan untuk bebas. Dulu, ketika masih kecil, saat orangtua kita memaksa kita masuk sekolah, diam-diam sering kita membayangkan, betapa indahnya kalau kita bebas untuk tidak sekolah, seharian kita bebas bermain, tidak ada guru yang memberikan PR, tidak ada kewajiban bangun pagi-pagi.
Kini, setelah kita dewasa, saat kita sudah sibuk dengan pekerjaan kita, perasaan yang serupa pun sering kali muncul, diam diam kita juga membayangkan indahnya suasana kerja tanpa diawasi oleh bos, tanpa aturan masuk pagi, juga dead line. Saat kita melintas jalan raya, kita bermimpi bisa melintas secara bebas, tanpa hambatan, tanpa kemacetan, tanpa rambu rambu lalu lintas, juga pengawasan polisi.
Dan begitu seterusnya, keinginan bebas melingkupi hampir seluruh dimensi kehidupan. Tapi benarkah kehidupan yang benar benar bebas tanpa kontrol semacam itu yang kita harapkan? Pada kenyataannya tidak. Ada benarnya sekolah mengungkung kebebasan kita, tetapi akal sehat kita mengatakan kita memerlukannya.
Tak pernah tebersit sedikit pun keinginan kita untuk meninggalkannya. Di setiap para orangtua tetap menyuruh anaknya untuk bangun ke sekolah daripada tiduran di rumah. Karena kita tahu, aneka kungkungan positif itu sesungguhnya akan mengantar anak anak menjadi lebih baik. Rasanya begitu menjengkelkan harus mematuhi aneka ragam peraturan lalu lintas. Harus berhenti saat lampu merah. Harus mengenakan helm atau sabuk pengaman. Tapi begitu jalanan itu benar-benar dibersihkan dari aneka ragam peraturan, kita pun buru-buru membuat aturan aturan baru. Lihat saja betapa bersemangatnya orang-orang kompleks membuat polisi tidur di sepanjang jalan di depan rumah.
Manusia suka kebebasan, tapi hampir di seluruh penjuru dunia ini, semua manusia selalu membuat peraturan. Dan karenanya, terciptalah aneka ragam larangan yang membatasi gerak mereka. Manusia mencipta sebuah negara, memberikan mandat agar negara membuat peraturan untuk membatasi mereka, mengeluarkan biaya untuk membayar orang-orang yang menjaga agar peraturan itu benar-benar ditaati.
Mengapa mereka melakukan semua itu? Karena itulah jalan yang terbaik bagi kehidupan mereka. Seandainya tanpa peraturan dan negara, maka hukum rimba yang terjadi. Manusia akan terus dicekam rasa takut bahwa sewaktu-waktu ada orang yang merampas apa yang dia miliki dengan dalih kebebasan.
Dan di sini kebebasan dari hukum sesungguhnya telah menghadirkan penjara ketakutan yang luar biasa. Agama juga hal yang hampir serupa, di dalam sebuah agama selalu terkandung aneka ragam hukum, peraturan dan kaidah yang harus ditaati pemeluknya. Ada banyak perintah, juga larangan.
Secara sepintas, mungkin kelihatan membelenggu, tapi sesungguhnya bagi yang memahaminya dengan baik, semua itu justru dibuat untuk menjamin rasa merdeka dan aman pada manusia, dan menjauhkan manusia dari kehidupan yang penuh belenggu. Misalnya, Tuhan memerintahkan kita untuk menjauhi minum-minuman keras dan obat-obatan terlarang. Karena dengan itu, jasmani kita lebih sehat. Kemampuan kita untuk menahan diri dari obat-obatan terlarang, sesungguhnya adalah bukti betapa kita tidak terbelenggu oleh naluri hewani kita. Bayangkan kalau kita menjadi ketagihan dengan obat-obatan terlarang, bukankah menjadi orang yang terjajah oleh naluri kita yang tak terkendali itu.
Tuhan mengharamkan kita melakukan free sex, zina, dan selingkuh. Dengan menaati larangan ini, maka menunjukkan betapa merdekanya kita. Kita memiliki kuasa atas diri kita sendiri. Kita tidak larut dan menjadi budak hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungannya yang rendah.
Karena hanya manusia yang bebas dari perbudakan nafsu yang mampu mengatur naluri dan keinginan seksualnya di jalan yang bersih, hingga tidak seperti hewan yang tidak memiliki akal. Sesungguhnya yang membedakan manusia dan hewan adalah akal sehatnya. Hanya manusia yang berakal sehat dan bernurani sehat yang mampu memahami bahwa norma, hukum, dan syariat pada hakikatnya adalah benteng untuk menjaga kemerdekaan manusia sebagai manusia.
Sabda Nabi Muhammad, ”Jika kamu tidak malu, berbuatlah semaumu.” Orang yang tidak memiliki rasa malu persis seperti si Ro`i di atas, maka dia bebas berbuat semaunya. Na`udzubillah.
Kukusan, Depok, 15 Juni 2006
Sumber: SINDO, Juni 2008 oleh Habiburrahman El Shirazy (Budayawan Muda, Penulis Novel Ayat-Ayat Cinta)
Tinggalkan komentar