HARUMnya Jalan KESEDERHANAAN
”TIDAK mengetahui sedikit pun mengenai masa lampau, berarti memahami sedikit masa kini, dan tidak memiliki konsep untuk masa depan.” Sederet kalimat ”bergizi” dari John Logan itu, kembali menyadarkan saya akan pentingnya masa silam.
Masa silam laksana sebuah tongkat yang membantu saya menapaki jalan kehidupan yang terjal dan berliku. Masa silam adalah cahaya yang menuntun saya melangkah pada jalan keindahan. Juga adalah kaca tempat saya semestinya becermin. Dalam masa silam, saya menemukan pelajaran yang teramat berharga, bagaimana meniti kehidupan ini sebaik mungkin. Ada teladan indah dari orang-orang dari masa silam, yang patut untuk saya teladani. Karenanya, salah satu kegemaran saya adalah membaca sejarah orang-orang dahulu.
Membaca kisah Abu Dzar al-Ghifari, hati saya sering kali basah. Dalam diri sahabat Nabi itu, saya menjumpai seorang pribadi yang begitu kukuh memegang teguh prinsip kebenaran, dan lantang menyuarakan kebenaran meski harus bertentangan dengan penguasa. Dan demi semua itu, ia sanggup menapaki jalan sunyi kehidupan dan hidup dengan sangat sederhana.
Tentang Abu Dzar al-Ghifari, Rasulullah SAW pernah mengatakan, ”Abu Dzar berjalan sendirian, mati sendirian, dan akan dibangkitkan sendirian.” Benar juga, menjelang ajalnya tiba, tak ada seorang pun yang berada di sisinya, kecuali istri dan anaknya. Kepada putranya, ia berpesan, ”Mandikanlah aku, kafani, lalu letakkan aku di tengah jalan dan siapa pun yang pertama lewat, katakan kepadanya, ini mayat Abu Dzar al-Ghifari, sahabat Rasulullah.
Bantulah kami menguburkannya.” Dan benar, ketika Abu Dzar meninggal dunia, istri dan anaknya memandikan dan mengafaninya, lalu meletakkan di tengah jalan. ”Manusia terlahir dengan telanjang, sendirian tanpa membawa apa-apa. Kelak, ia akan menghadap Tuhan sendirian, telanjang dan tak membawa apa-apa.” Demikian orang bijak memberikan nasihat.
Dan Abu Dzar telah menunjukkannya, dalam kisah hidupnya yang luar biasa. Meski meninggal dalam keadaan yang sangat memprihatinkan, namanya begitu harum dikenal sejarah. Mengenang sosok Muhammad Hatta, saya menemukan teladan yang tak kalah memukau. Setelah mengundurkan diri dari jabatan paling penting di negara ini, wakil presiden, beliau memilih menjalani kehidupan yang sangat sederhana.
Sembari membaktikan hidupnya di jalan ilmu pengetahuan, menjadi seorang dosen. Salah seorang putrinya bahkan pernah menuturkan, kalau gaji pensiunannya tidak cukup untuk membayar tagihan listrik dan air minum. Namun, sejarah begitu setia mengingat keharuman namanya.
Tak jauh berbeda dengan Hatta, Imam Khomeini, tokoh Revolusioner Iran dalam embusan napasnya yang terakhir, hanya meninggalkan harta yang tak berkilau: sejengkal tanah, sebuah rumah tanpa perabot dan sepotong sajak. Dan tentu saja, di antara semua itu, tokoh yang paling saya kagumi adalah Rasulullah. Bersama Khadijah, istrinya, pernah beliau mencapai puncak kejayaan di dunia bisnis. Namun, tak pernah saya mendengar cerita tentang kehidupannya yang bermewah-mewah.
Sementara, teramat banyak kisah yang menceritakan kehidupan beliau yang penuh kesahajaan dan kesederhanaan. Rumah beliau terbuat dari tanah liat, tidak besar dan pendek. Pakaian yang beliau kenakan, pakaian dari kain yang kasar. Adakalanya beliau mengenakan kain dan selendang semata. Beliau tidak pernah kenyang, dan lebih sering menjadi makanannya hanyalah roti gandum. Pernah beliau menyelipkan batu di perutnya karena menahan lapar.
Saat tidur, beliau hanya beralaskan tikar sehingga anyaman tikar itu pun membekas dalam lambung beliau. Pernah beliau menggadaikan baju besinya kepada seorang yahudi untuk memberi makan keluarganya. Membaca kisah-kisah yang luar biasa dari tokoh-tokoh istimewa di atas, saya terhentak sendiri. Saya melihat sebuah benang merah, yang menyatukan orang orang besar itu dengan keharuman sejarahnya.
Benang merah itu bernama kesederhanaan dan kesahajaan. Ketika jiwa sudah mendekati puncak kesempurnaannya, ia mulai merasa tidak nyaman dengan kemegahan dunia, dan hidup dalam kesederhanaan menjadi jalan yang indah untuk ditempuh. Dan kesederhanaan itulah pada akhirnya yang menunjukkan kualitas tingkat kebesaran mereka.
Sering kali saya merasa begitu malu mengingat kesederhanaan orang-orang besar itu. Betapa jiwa ini masih begitu kerdil, masih sering tamak pada pesona duniawi. Padahal, Rasulullah pernah mengingatkan, ”Seandainya manusia mempunyai dua lembah dari emas, niscaya ia akan menginginkan tiga lembah. Tidak ada yang bisa mengenyangkan perutnya kecuali tanah.”
Batur-Klaten, 23 Juni 2008
Sumber: SINDO, Juni 2008 oleh Habiburrahman El Shirazy (Budayawan Muda, Penulis Novel Ayat-Ayat Cinta)
Tinggalkan komentar